Wednesday, November 3, 2021

Pasangan Hidup Itu Bukan Soal Jodoh Tapi Pilihan

Menurutmu, pasangan hidup itu jodoh atau pilihan? Pertanyaan itu secara otomatis mengingatkan pada  pertanyaan saya bertahun-tahun lalu: Jodoh itu sebenarnya ada ngga siy?

Seringkali saya mendengar orang menghibur seseorang yang patah hati dengan kalimat “Ya mungkin bukan jodoh”. Atau banyak juga yang memotivasi dengan kalimat “Kalau jodoh nggak akan ke mana”. Dulu saya percaya-percaya saja. Tapi semakin lama, saya jadi bingung memikirkannya. Jodoh itu ada ngga siy?


1. Bicara soal jodoh, artinya ada seseorang yang ‘mau-tak-mau’ akan bersama kita. Sedang setiap orang memiliki pilihan yang berbeda. 

Dulu saya berpikir jodoh itu adalah sesuatu yang “mistis” sekaligus romantis. Maksudnya, konsep bahwa ada seseorang yang diciptakan untuk satu sama lain, itu sangat indah bukan? Karena dengan begitu, takdir sudah menjamin bahwa suatu saat kita akan bertemu dengan “orang itu”. Namun kemudian saya berpikir, bukankah setiap orang punya kehendak bebas dan pilihan? Bagaimana bila seseorang yang ditakdirkan untuk saya itu memilih untuk hidup selibat? Apakah itu artinya saya sudah dikhianati oleh jodoh yang bahkan belum saya temui?


2. Tak ada dua orang yang benar-benar cocok atas segala hal. Sebuah hubungan selalu tentang kompromi.

Jiwa lugu saya dulu juga berpikir, tak ada yang bisa mengalahkan takdir. Bila dia jodohmu, kecocokan itu sudah mendarah daging dan sulit diingkari. Namun, semakin dewasa, ternyata saya melakukan kompromi ketika sedang jatuh cinta. Ada hal-hal yang tidak cocok dari dia, namun saya terima dan sebaliknya. Ada hal-hal di antara kami yang sangat berbeda tapi saya anggap tidak apa-apa. Begitulah sebuah hubungan berjalan. Tak ada yang benar-benar cocok antara dua orang, yang ada adalah kemauan untuk berkompromi dan menekan ego sendiri untuk menyikapi perbedaan.


3. Perjalanan cinta bukan sesuatu yang autopilot. Bertahan atau tidaknya, tergantung seberapa besar perjuangan.

Dulu saya juga berpikir bahwa ketika sudah jodoh, sebuah hubungan pasti akan bertahan dan sebaliknya. Jadi kalau sudah jodoh, perjuangannya ngga harus mati-matian. Santai saja, toh nanti ujung-ujungnya sama dia. Di usia ini saya belajar bahwa konflik juga diperlukan untuk saling mendewasakan dan bahkan menguatkan perasaan.

Lagipula, kita sering mempersempit bahwa jodoh/tidaknya pasangan itu dilihat dari sampai ke pernikahan atau tidak. Padahal resepsi pernikahan bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal babak baru. Apakah hubungan itu berjalan hingga dipisahkan kematian atau tidak, semuanya tergantung pada perjuangan dan komitmen masing-masing untuk bertahan.


4. Jatuh cinta mungkin bukan pilihan. Tapi apa yang saya lakukan setelahnya sepenuhnya saya yang tentukan.

Bicara jodoh tentu tak bisa lepas dari perkara cinta. Ya, saya percaya bahwa jatuh cinta itu bukan pilihan. Kalau jatuh cinta itu pilihan, tentunya tidak ada istilah people we can’t have, karena kita semua akan memilih orang yang pasti dapat kita miliki untuk jatuh cinta. Jadi apakah mungkin kita jatuh cinta pada orang lain saat sudah punya pasangan? Sangat mungkin. Tetapi, apa yang kita lakukan atas perasaan cinta itu adalah sebuah keputusan yang diambil dari pilihan-pilihan. Bisa saja saya menyatakannya dengan lantang alih-alih menyimpannya diam-diam karena saya sudah berkomitmen dengan orang lain, ataupun sebaliknya.


5. Ketika sebuah hubungan berakhir dengan berbagai alasan, itu bukan karena tidak jodoh. Melainkan karena masing-masing sudah menyerah untuk saling memperjuangkan.

Ketika meng-amin-i bahwa pasangan hidup adalah jodoh yang dikirimkan, lantas saya berpikir, bagaimana jika saya salah menerjemahkan pesan Tuhan? Bagaimana bila saya mengira jodoh orang lain adalah jodoh saya, atau orang lain mengira jodoh saya adalah jodohnya?

Apakah alasan “bukan jodoh” inilah yang membuat suami-istri yang sudah menikah 30 tahun kemudian bercerai? Atau mungkin yang terjadi justru mereka berhenti karena sudah menyerah untuk mempertahankan sebuah hubungan karena satu dan lain hal. Saya lebih percaya yang kedua.


6. Jodoh dan cinta itu irrational, sedangkan mencari pasangan hidup harus rasional.

Kalau melihat bagaimana kita menggambarkan jodoh selama ini–mulai dari butterfly effect di perut hingga bisikan ajaib bahwa dia the right one untukmu–itu adalah yang mistis dan ngga masuk akal kan? Tapi bicara soal mencari pasangan hidup, kita (diharapkan) untuk rasional. Kalau menuruti keinginan, ya saya ingin pasangan hidup saya adalah Irwan Mussry yang tampan dan mapan. Tapi keinginan itu ngga rasional, bukan? Sebaliknya, kita mungkin saja sangat mencintai seseorang, namun karena satu dan lain hal, kita ngga mengharapkan orang itu sebagai pasangan hidup untuk selamanya.

Jodoh adalah konsep abstrak yang memang sangat ampuh untuk memotivasi diri saya sendiri. Saya menyebut “jodoh” ketika sesuatu itu bisa saya raih. Sebaliknya, saya menyebut “ngga jodoh” saat sesuatu itu gagal saya raih.

Lagipula jika benar jodoh adalah sosok yang diciptakan untuk saya dan karenanya garis kami adalah harga mati, saya benar-benar khawatir bila jodoh saya sebenarnya memutuskan untuk hidup sendiri.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~








No comments:

MARRIAGE IS A DAILY LIFE

Before I continue writing, forgive me for the title of this post that may sounds like it understates the meaning of marriage. NO! It is not ...